Musim panen seharusnya menjadi berkah bagi kalangan petani. Namun yang terjadi terkadang sebaliknya. Saat musim panen, petani justru menderita kerugian. Apa yang harus dilakukan?
HANYA seperti sudah menjadi hal biasa saat musim panen, petani justru sering merugi akibat harga yang jatuh dan bersaing dengan serbuan dari produk luar Bali. Anjloknya harga beberapa komoditas terutama pada masa panen ini diakui Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Bangli, I Wayan Sarma. Dia menegaskan turunnya harga komoditas pada saat masa panen raya adalah hal yang sangat wajar. Pada saat panen raya, komoditas yang sama tidak hanya ada di Bali namun juga produksi melimpah juga terjadi di luar Bali termasuk di NTB.
“Kita tidak bisa mencegah masuknya komoditas lain masuk ke pasar kita, apalagi saat tertentu seperti musim panen raya seperti kali ini. Harga yang turun dari biasanya pada musim panen raya adalah hal yang normal dan wajar terjadi, hanya sekarang yang harus dilakukan oleh petani adalah bagaimana menyiasati agar tidak merugi,” terangnya.
Misalnya, petani sudah harus berhitung untuk memanfaatkan lahan yang digarap tidak hanya pada satu komuditas sehingga ada komuditas pendamping saat harga turun.
Ketua DPD HKTI Bali Prof. Dr. Nyoman Suparta tidak menampik selain alih fungsi lahan permasalahan lainnya yang dihadapi petani adalah harga yang jatuh saat musim panen tiba. “Meski regulasi sudah ada, tak jarang justru didobrak oleh kepentingan-kepentingan lain, pemanfaatan hasil pertanian oleh para pelaku pariwisata serta supermarket dan pasar modern masih belum maksimal. Selain itu pembatasan terhadap datangnya komoditas pertanian dari daerah lain saat musim panen yang bersamaan belum ada sehingga berdampak pada jatuhnya harga,” ungkapnya.
Ditambahkannya, petani yang betul-betul ingin maju dan bertahan di sektor ini hendaknya
memikirkan ”empat tepat” dalam menggarap lahannya, yakni tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu, dan tepat kontinyuitas. Hal inilah yang belum dipahami para pelaku pertanian. Edukasi terkait pola bertani yang tepat juga masih sangat minim, sehingga para petani hanya menguasai bagaimana pola bertani yang benar, namun tidak memahami bagaimana memasarkan dan mengolah produk pertanian sehingga memiliki nilai jual yang naksimal.
Salah satu petani tomat di Desa Kintamani Bangli mengatakan, musim panen raya yang seharusnya menjadi saat yang dinanti justru lebih sering mengecewakan petani karena harga yang tidak sesuai dengan harapan. “Kalau dibilang rugi ya kita rugi karena operasional dan perawatan tanaman tidaklah murah. Namun harapan bisa kembali saat masa panen hanya menjadi angan-angan,” ungkap Made Parwata.
Dia berharap, ada solusi yang bisa membantu petani saat musim panen agar komoditas bisa memiliki nilai jual yang tinggi. Misalnya seperti peran pihak ketiga yang membeli hasil pertanian, bimbingan dari pemerintah terhadap hasil pertanian menjadi produk lain yang lebih tahan lama serta membatasi masuknya produk pertanian luar Bali saat musim panen. Selain harga yang jatuh saat musim panen, hal lain di bidang pertanian yang perlu diwaspadai menyangkut alih fungsi lahan. Menurut Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, IB Wisnuardhana, alih fungsi lahan di Bali dalam lima tahun terakhir, yakni dari tahun 2013 hingga 2017 rata-rata sekitar 550 hektar per tahun. Jika dipersentase, hasilnya sekitar 0,4 persen. Jumlah ini tergolong cukup tinggi.
Dari data tersebut, pada 2017 saja terdapat peningkatan yang cukup signifikan. Angkanya mencapai 900 hektar lahan yang telah beralih fungsi, dengan persentasi 1,13 persen dari total lahan 78.626 hektar. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun 2016 yang mencapai 537 hektar dari total luas lahan 79.562 hektar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya alih fungsi lahan di Bali.
Yang paling menjadi ancaman adalah bangunan untuk pemukiman, hotel, serta restoran. Namun, yang menjadi ancaman paling tinggi adalah pemukiman dengan makin banyaknya pertambahan penduduk di Bali.
Dari sembilan kabupaten dan kota di Bali, Kabupaten Tabanan menjadi daerah
penyumbang tertinggi alih fungsi lahan pada tahun 2017, yaitu seluas 363 hektar (ha). Buleleng berada di posisi kedua dengan luas total 325 hektar.
Sementara Jembrana dan Bangli relatif tidak ada penyusutan luas lahan persawahan. Adapun Badung (38 ha), Denpasar (35 ha), Gianyar (50 ha), Klungkung (64 ha), dan Karangasem (20 ha).
Saat ini sektor pertanian menopang pendapatan daerah 14,92 persen atau sektor kedua terbesa berkontribusi bagi Bali setelah pariwisata (hotel dan restoran) yang menyumbang sekitar 22 persen berada di posisi pertama. Peningkatan anggaran pertanian tersebut, digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan membangun infrastruktur pertanian seperti waduk, irigasi, jalan dan penyediaan bibit unggul. Selain itu peningkatan kapasitas sumber daya manusia petani dengan penyuluhan dan pertukaran petani ke luar Bali juga dilakukan untuk memajukan pertanian di Pulau Dewata. *ita/editor rahadi