Denpasar (bisnisbali.com) –Digitalisasi ternyata tidak selamanya membawa dampak positif bagi perekonomian. Salah menilai atau memilih bukan untung yang akan didapatkan melainkan kerugian yang berlipat-lipat.
Menurut pengamat ekonomi dan bisnis, Prof. Gede Sri Dharma, digitalisasi membawa dampak besar terhadap perekonomian masyarakat masa kini, namun apabila bisa disikapi dan dimanfaatkan dengan baik tentu akan menghasilkan hal yang positif, namun bagaimana kalau masyarakat justru sebaliknya tidak siap dengan perubahan teknologi, sudah dipastikan justru akan diperbudak oleh teknologi tersebut.
“Seperti yang marak terjadi belakangan ini, di mana masyarakat seperti terhipnotis dengan pola bisnis yang sebenarnya dulu sempat bom. Saat ini bisnis yang sedang banyak menyedot perhatian masyarakat adalah bisnis fintech, di mana produk yang paling menarik dan banyak dilirik adalah pinjaman online-nya. Bisnis sejenis dulu sempat ada dan sering disebut dengan bisnis rentenir yang kemudian bermetamorfosis menjadi bisnis peer to peer lending dan akhirnya lebih dikenal dengan fintech,” terang akademisi yang selalu aktif mengamati perkembangan digitalisasi ini.
Model bisnis ini disebutkannya memiliki pergeseran pola namun dengan tujuan satu yaitu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Di mana pada bisnis yang lama dengan pola manual atau door to door berjalan ke koordinat baru dengan aplikasi bisnis berbasis digital.
Ini ternyata bagi masyarakat yang minim informasi, tidak paham digitalisasi serta dalam kondisi perekonomian yang terjepit tanpa pikir panjang memanfaatkan pola bisnis fintech ini melalui pinjaman online.
Untuk menarik minat masyarakat tentu ditambah dengan bumbu pemanis seperti kredit yang proses pencairan cepat dan bunga yang murah.
Meski diakui tidak semua bisnis pola peer to peer (P2P) ini bermasalah namun minimnya pengetahuan masyarakat akan memilah bisnis fentech yang berizin atau tidak, pastinya justru akan menggiring masyarakat kita jatuh ke lubang yang dalam. Alih – alih ingin memperbaiki perekonomian malah dihawatirkan akan merugi.
“Di sinilah peran OJK harus maksimal dalam mengadakan pengawasan, OJK jangan hanya ada dan terlihat saat masalah sudah muncul namun akan lebih baik mencegah masalah muncul. Caranya bisa dengan selalu mengadakan sosialisasi agar masyarakat paham mana bisnis P2P atau pinjaman online yang aman dan mana yang tanpa izin dan pengawasan dari OJK. Apalagi bisnis ini berbasis digital dan online pastinya akan sangat mudah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai keamanan pola pinjaman onliine ini. Mendapatkan pinjaman atau kredit cepat memang menjadi harapan masyarakat, namun apabila bisa dengan pola cepat dan selamat tentu jauh lebih baik,” terangnya.
Selain itu masyarakat harus makin kritis dengan mengecek terlebih dahulu P2P lending yang telah mendapatkan izin oprasional dari OJK dan tidak serta merta terbuai dengan pencairan yang cepat serta bunga yang ringan. Pola bisnis yang seringkali memanfaatkan media sosial dalam mengajak masyarakat untuk memajukan kredit ini sekarang malah makin cepat dengan memberikan pesan Whats Up atau SMS ke hand phone atau smart phone masyarakat sehingga proses transaksi selain makin cepat juga makin privasi namun pastinya juga makin berisiko.
“Mencegah makin banyaknya korban bisnis P2P ini, diharapkan lembaga keuangan yang sudah ada sebelumnya seperti perbankan, koperasi atau LPD bisa makin melengkapi diri dengan beralih ke digitalisasi yang pastinya memudahkan tiap transaksi sehingga bisa tetap memberikan pelayanan maksimal dan menjadi kepercayaan masyarakat,” ungkap Prof Sri Darma. *ita