MEMBUDIDAYAKAN pepaya, terutama jenis pepaya kalina diakui petani di Karangasem sangat menguntungkan. Namun sayangnya, penyebaran hama gayas cukup cepat, dan hama ini menghancurkan harapan petani pepaya kalina di sentra pembudidayaan di Banjar Waling, Karangasem. Bagaimana rencana pihak Dinas Pertanian Karangasem dalam mengatasi hama gayas yang sudah lama, menjadi bencana bagi petani di Karangasem?
Hama gayas disebut bencana, karena diakui Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karangasem Ir. I Wayan Supandi, Kamis (29/8) lalu saat ditemui di kantornya, bahkan sampai pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dulu, sempat ikut mengatasinya. ‘’BPBD pernah membuat demontrasi plot (denplot) penanggulangan, dengan sistem tanaman perangkap. Namun, hama gayas sampai kini memang masih cukup merugikan petani,’’ papar Supandi yang tengah mempersiapkan festival kelapa pertengahan September ini.
Diakui, hama gayas menyerang berbagai jenis tanaman di sejumlah wilayah dataran rendah, seperti di beberapa desa di Kecamatan Kubu, di Kecamatan Abang, Bebandem, dan desa-desa lainnya. Dinas Pertanian Karangasem sejak dulu sudah melakukan berbagai upaya, baik pengendalian fisik berupa penangkapan fase serangga yang disebut talebo, fase ulat yang disebut gayas dengan cara menangkap lalu membakar atau dikonsumsi penduduk. ‘’Telebo atau pun gayas itu sangat enak dibuat lauk, baik digoreng, dipepes atau telebo atau gayas santan. Saya sering mencicipi bersama para petani,’’ papar Kabid Holtikultura Dinas Pertanian Karangasem, Putu Suarjana.
Ditambahkan petugas penyuluh lapangan (PPL) Pertanian Ketut Ardiasa, pernah dicoba pengendalian hama gayas dengan kimiawi. Namun, juga tidak berhasil, karena gayas hidup di dalam tanah, sementara saat fase dewasa yang disebut teloba hinggap dan makan daun pepohonan yang tinggi.
Ditambahkan Putu Suarjana, saat ada informasi petani pepaya kalina di Desa Abang terkendala hama gayas, petugas dan PPL sudah turun langsung. Ditemukan di dua lokasi, sekitar satu hektar tanaman pepaya kalina rusak, layu dan mati terserang.
Dari pantauan, selain pepaya kalina, hama gayas juga suka menyerang akar atau umbi berbagai jenis tanaman, seperti tanaman musiman. Namun, tanaman kalina yang akarnya lunak dan manis, sangat disukai, apalagi di sekitarnya tidak ada tanaman lainnya yang juga disukai seperti tanaman holtikultura, kacang-kacangan, ketela pohon dan ketela rambat atau talas. ‘’Membudidayakan papaya kalina, kami rasakan paling menarik karena sangat menguntungkan. Hanya, kendala kami karena serangan hama gayas yang terus meluas. Hama gayas sangat menjadi kendala kami bertanam pepaya kalina dan tanaman lainnya. Hama ini sangat merugikan, bahkan bisa menyebabkan gagal panen,’’ papar Dewa Gede Ngurah, petani kalina dari Banjar Waliang, Abang.
Petani lainnya, Dewa Gede Rai Swandita menambahkan, dulu dari sekitar 200 KK warga petani di Banjar Waling, 70 persennya membudidayakan papaya kalina. Namun, kini yang masih bertanam kalina hanya beberapa orang. Sementara, Perbekel Desa Abang, Nyoman Sutirtayana mengatakan, dirinya juga pernah menanam bibit papaya kalina 50 pohon di ladangnya. Namun yang bertahan sampai berbuah, sekitar lima pohon. ‘’Hama gayas memang sangat merugikan, padahal di Desa Abang, dulu produksi kalinanya paling bagus, karena sangat cocok. Selain buahnya banyak, juga rasanya manis dan sangat enak sehingga sangat disenangi pembeli,’’ paparnya.
Selain di Waliang, di ladang petani lainnya di Abang, seperti di Banjar Abang Kaler dan sekitarnya para petani juga bertanam kalina. Cuma kendala utamanya, hama gayas itu. ‘’Saya bertanam bibit kalina 170 pohon tahun lalu di lahan bekas lahan ditumbuhi beluhu atau sejenis alang-alang, namun tinggal yang bisa hidup tiga pohon. Kami sudah tak tahu bagaimana cara memberantas hama gayas itu,’’ katanya.
Lanjutnya, bertanam pepaya kalina paling menguntungkan. Berbuahnya cepat, setelah bibit setinggi 20 cm ditanam beberapa bulan kemudian sudah mengeluarkan bunga dan siap berbuah. Kalau pemeliharannya bagus, dan lahannya bagus, tidak ada kendala hama, hidupnya lama. Pepaya kalina, makin tua atau makin tinggi pohonnya, rasa buahnya makin enak, meski jumlah buahnya kian sedikit dan ukuran buahnya kian kecil. ‘’Sekali tanam, bisa hidup lebih dari lima tahun dan tiap tahun panen perpohon sampai lebih dari 10 butir. Per kg di tingkat petani, biasanya kami lepas Rp 7.000 per kg dan di pasaran sangat laris, tentunya harganya lebih tinggi lagi,’’ papar Dewa Rai. *bud/editor rahadi