Lembaga perkreditan desa (LPD) yang tujuan keberadaannya untuk mensejahterakan masyarakat desa pakraman terlebih lagi mendukung kelestarian adat dan budaya tentu harus dijaga keajegannya. Begitu pesatnya perkembangan teknologi digital menjadi sebuah ancaman bagi lembaga tradisional ini sehingga berbagai penguatan harus dilakukan terutama di bidang digitalisasi. Seperti apa?
KEBERADAAN LPD selama ini telah mampu mendukung kegiatan masyarakat di desa pakraman baik melalui dana pembangunan yaitu 20 persen dari laba yang rutin diserahkan LPD setiap tahunnya, hingga berbagai kegiatan sosial yang didukung LPD melalui dana sosial yang dianggarkan. Lebih dari itu, sebagian LPD juga menyisihkan pendapatan untuk mendukung penyelenggaraan upacara masyarakat seperti ngaben masal atau sebagainya. Melalui program-program yang dimiliki, banyak kemudahan yang dirasakan oleh masyarakat, seperti kredit bunga ringan ataupun program tabungan yang mendukung kegiatan tertentu. Oleh sebab itu keberadaan LPD yang menjadi tumpuan perekonomian masyarakat ini tentu eksistensinya harus dijaga.
Ketua Badan Kerjasama (BKS) LPD Provinsi Bali Drs. I Nyoman Cendikiawan, S.H., M.Si. mengatakan, tercatat hingga 2018 lalu aset yang mampu dikelola LPD se-Bali hampir mencapai Rp20 triliun. Hal ini membuat pengembangan LPD menjadi sebuah keharusan, sehingga tidak menjadi tertinggal terlebih pada era digitalisasi saat ini. “Meski LPD merupakan lembaga tradisional, pengelolaannya harus profesional dengan mendorong pemanfaatan teknologi digital,” ungkapnya pada diskusi terbatas yang berlangsung di Warung 63 Denpasar, Senin (22/4) kemarin.
Lebih lanjut Cendikiawan mengatakan, dalam upaya penguatan LPD tersebut, bekerja sama menjadi upaya yang dapat dilakukan. Hal ini yang mendorong diselenggarakannya diskusi yang mempertemukan BKS-LPD, Lembaga Pemberdayaan (LP) LPD, PT Bank BPD Bali, PT Ussi, PT Jamkrida Bali Mandara serta pengusaha di bidang teknologi informasi.
Dikatakannya, konsep dari LPD selama ini adalah bersaing dan bersanding. Bersaing yaitu upaya meningkatkan internal LPD terutama SDM. Demikian juga bersanding dilakukan dengan bekerja sama dengan lembaga keuangan lainnya, yang tidak mungkin ditolak keberadaannya terlebih lagi yang sudah menjamur ke desa-desa. “Caranya yaitu menguatkan diri dalam bidang teknologi dan digitalisasi terlebih lagi di era revolusi industri 4.0 yang tanpa batas perkembangannya,” ungkap Cendikiawan.
Melalui kerja sama dengan PT Ussi, sebuah perusahaan teknologi informasi ini diharapkan mampu mendukung penguatan LPD di bidang digitalisasi ke depan. Demikian juga sinergi dengan PT Bank BPD Bali serta PT Jamkrida diharapkan mampu bersama-sama mendukung perekonomian Bali ke depan.
Dipaparkannya, saat ini penggunaan teknologi digital sudah mulai dilakukan LPD. Dari 1.433 LPD yang tersebar di seluruh bali, 600 di antaranya sudah menggunakan standardisasi core LPD yang memudahkan penginputan data serta mempermudah sistem pemeriksaan dan pengawasan yang dilakkan LP-LPD. Demikian juga penggunaan LPD mobile sudah mulai dilakukan LPD yang memberi kemudahan transaksi bagi nasabah. Termasuk saat ini BKS-LPD telah merancang Gerai Pintar LPD yang berkerja sama dengan toko atau warung-warung di wilayah desa pakraman.
Kepala LP-LPD Provinsi Bali I Nyoman Arnaya S.E mengatakan, peranan teknologi informasi sangat penting, sehingga mengubah mindset pengelola ataupun SDM LPD juga harus dilakukan. “Mengubah mindset SDM ini yang cukup sulit dilakukan, karena sudah terbiasa dengan sistem konvensional. Kendala kita memang di SDM untuk pengembangan teknologi tersebut,” terangnya.
Dengan itu, pelatihan yang dilakukan ke depan yaitu akan lebih mensosialisasikan manfaat teknologi informasi kepada SDM LPD. “Kita Harapkan nantinya bagaimana BKS-LPD Bali bisa bekerja sama dengan anak-anak muda yang mampu di bidang teknologi informasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur PT Ussi Bandung Tirta Rukmana mengatakan, ada empat hal yang harus dimiliki lembaga keuangan di era digital yaitu standarisasi core, layanan keuangan, sistem pembayaran dan yang terakhir logistik (berhubungan dengan jual dan beli produk). Keempat hal ini sudah mulai dimiliki oleh LPD saat ini, meski untuk mengembangkan secara menyeluruh membutuhkan lebih banyak waktu. “Pada awal kita hanya mulai rintis core untuk standardisasi data LPD pada awal kerja sama kita pada tahun 2015. Ternyata pengembangan teknologi begitu pesatnya yang membuat kita pun harus ikut bergerak terhadap sistem lain,” jelasnya.
Meski pengembangan standardisasi core saat ini masih terus berlangsung, pengembangan program lainnya juga dijalankan agar LPD tidak menjadi ketinggalan. “Karena untuk pengembangan sistem yang lain, standardisasi core untuk digitalisasi data LPD harus dilakukan. Hal ini membuat kita harus berpacu lebih cepat,” terangnya sembari mengatakan sehingga kerja sama LPD ke depan dengan lembaga lain juga harus lebih ditingkatkan. *wid/editor rahadi