Mangupura (Bisnis Bali) – Momen pemilihan umum dan perlambatan ekonomi, membuat bank perkreditan rakyat (BPR) dihadapkan dengan masalah dana idle. Oleh karena itu, BPR harus mengoptimalkan kredit untuk mengurangi dana idle.
Ketua Yayasan Perbarindo Bali, Ketut Wardana, Senin (1/4) mengatakan, BPR memiliki peran melaksanakan fungsi intermediasi. Saat event Pemilu termasuk imbas perlambatan ekonomi, masyarakat akan lebih banyak menempatkan dana di bank ketimbang untuk kepentingan usaha.
Ia melihat ini menjadi salah satu penyebab dana pihak ketiga (DPK) BPR terutama 2019 makin bertumbuh. Permasalahannya ke depan, dalam fungsi intermediasi BPR memiliki kewajiban kembali menyalurkan DPK dalam bentuk kredit. Menurut Wardana, saat perlambatan ekonomi termasuk saat pelaksanaan event politik, sektor usaha lebih menunda pengembangan usaha. Ini menyebabkan BPR kesulitan untuk menyalurkan kredit.
Ia menambahkan, seharusnya BPR harus mengoptimalkan kredit guna menekan dana idle. Penyaluran kredit tetap menggunakan analisa yang tepat. Penyaluran kredit juga harus didasarkan jaminan. Penyaluran kredit mengarah pada debitur yang mesti dibantu berdasarkan analisa 5 C+ 1 C.
Seperti kredit rumah yang dibiayai BPR, ketika permohonan kredit tersebut memenuhi ketentuan analisa kredit. Kredit rumah ini memang rumah yang akan digunakan bukan untuk spekulasi.
Wardana mengatakan, kredit bermasalah BPR di 2019 harus diselesaikan dengan menjual jaminan nasabah. Bank juga memiliki kewajiban untuk menjual jaminan debitur yang bermasalah. Ini dilaksanakan ketika debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya. “Penjual jaminan kredit bisa secara cash maupun kredit dengan proses analisa kredit 5 C plus 1 C,” katanya.
Penasehat Sri Partha Group, Wayan Gatha mengatakan, dalam pengembangan usaha BPR harus kembali ke tujuan awal membesarkan UMKM. BPR harus fokus menyalurkan kredit ke sektor mikro. Gatha menambahkan, BPR harus menumbuhkan UMKM yang ada di kota dan di desa. UMKM akan menjadi kantong-kantong untuk memakmurkan masyarakat. *kup/editor rahadi