Musibah kebakaran yang rawan terjadi di pasar khususnya pasar tradisional tentunya memberikan kerugian besar bagi para pedagang bahkan berdampak pada hilangnya mata pencarian. Selain aset barang dagangan yang habis terbakar, tidaknya adanya asuransi barang juga menjadikan pedagang kesulitan untuk melakukan pemulihan pascakebakaran yang dialami. Apa penyebab asuransi sangat jarang dimiliki pedagang?
SEPERTI halnya kebakarakan yang terjadi di Pasar Anyar Sari (Batukandik), Denpasar. Dalam kurun waktu yang kurang dari setahun kebakaran telah dua kali terjadi. Kebakaran pertama pada Agustus 2018 lalu, menghanguskan 108 kios dan los dengan kerugian diprediksi mencapai Rp8,5 miliar. Belum lama ini, Jumat (22/3) lalu kebakaran kembali terjadi. Kejadian ini mengakibatkan 12 kios habis dilahap si jago merah dengan prediksi kerugian pedagang mencapai Rp470 juta.
Kebakaran hebat pun sempat terjadi pada pasar tersebesar di Bali, Pasar Badung pada 3 tahun lalu. Tercatat 1.689 pedagang terdampak dengan kerugian pedagang mencapai Rp66 miliar. Para pedagang ini pun diungsikan ke tempat relokasi di eks Tiara Grosir selama kurang lebih 3 tahun, hingga pada akhirnya pada 22 Maret lalu secara resmi telah menempati kembali Pasar Badung baru dengan gedung megah dan fasilitas mewah.
Meski demikian, pemulihan belum dirasakan utuh oleh para pedagang, khususnya pedagang pakaian yang saat ini ditempatkan di lantai 4. Hal ini dapat dilihat masih kosongnya beberapa kios dan barang-barang yang dimiliki pedagang masih lebih sedikit, dibandingkan kepemilikan barang para pedagang pada sebelum terjadi kebakaran.
Untuk megantisipasi hal tersebut, tentunya berbagai alternatif seharusnya dimiliki oleh para pedagang. Seperti asuransi yang bisa menjamin barang dagangannya. Namun, sampai saat ini pedagang masih sangat jarang yang memiliki asuransi. Berbagai alasan pun dimiliki oleh pedagang yang membuat mereka enggan untuk beransuransi.
Salah seorang pedagang buah, Sang Ayu Anggawati mengatakan selama ini dirinya tidak pernah mengasuransikan barang dagangannya. Selain karena terbentur biaya, pemahaman soal asuransi barang dagangan belum dimiliki. “Setahu saya urusan asuransi masih cukup ribet, kepastian klaimnya juga kami masih ragu,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan pedagang pakaian AA Yuliani yang mengatakan asuransi barang, terlebih lagi di pasar cukup ribet. Wanita yang mengaku mengalami kerugian pascakabakaran terhadulu hingga Rp1 miliar ini sebenarnya ingin mengangsuransikan barangnya, mengingat kebakaran rawan terjadi di pasar-pasar. “Pascakebakaran yang pernah terjadi tahun 2.000 lalu, saya sempat mengunjungi perusahaan asurnasi, namun beberapa perusahaan yang saya datangi enggan membantu karena risiko cukup tinggi,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Dirut PD Pasar Kota Denpasar IB Kompyang Wiranata mengakui asuransi barang pedagang di pasar memiliki tarif yang tinggi dibandingkan asuransi lainnya seperti rumah tinggal. Hal ini membuat para pedagang hitung-hitungan untuk mau mengansuransikan barang dagangannya meski dikatakan risiko kebakaran di pasar tinggi. “Dari 1.689 orang pedagang yang ada di Pasar Badung, saya rasa yang memiliki asuransi tidak lebih dari 10 orang,” jelasnya.
Tarif tinggi untuk asuransi ini pun dikatakannya berlaku untuk bangunan pasar, yang besarannya sekitar 2-3 persen per tahun. “Kita contohkan saja nilai bangunan di Pasar Badung yang mencapai Rp150 miliar. Misalnya itu kena premi 2 persen, sudah sekitar Rp3 miliar yang kita bayarkan per tahun,” jelasnya.
Namun secara aturan, PD Pasar memiliki kewajiban untuk menjamin bangunan-bangunan di pasar. Diakuinya, untuk kepemilikan asuransi tersebut, pihaknya belum mampu mengangsuransikan secara full.
Disinggung soal pemberian subdisi kepada pedagang untuk program asuransi, pria yang akrab disapa Gus Kowi ini mengatakan, pihaknya berharap agar itu bisa dilakukan PD Pasar. “Namun kami belum mampu karena untuk asuransi bangunan saja kami belum bisa lakukan secara full,” katanya. *wid/editor rahadi