Denpasar (Bisnis Bali) – Bali memiliki adat istiadat serta budaya yang kental, hampir semua aspek kehidupan di Bali selalu di hubungkan dengan spiritual dan lingkungan tempat tinggal, salah satu keunikan di Bali adalah bangunan rumah tinggalnya yang sarat akan makna dan arti.
Pada dasarnya pembangunan rumah adat Bali dibangun berdasarkan aturan yang ada dalam kitab suci Weda. Dalam pembangunannya rumah ini harus memenuhi syarat dan sesuai dengan aturan Kosala Kosali yang mengatur tentang tata letak rumah. Aturan ini hampir mirip dengan aturan feng shui yang amat terkenal di Cina.
“Sama halnya dalam masyarakat Cina yang mengenal filosofi dalam tata letak , rumah adat Bali pun tidak mau kalah. Ada nilai-nilai filosofis yang terkandung di balik pembangunan rumah adat semacam ini. Menurut masyarakat Bali, membangun rumah harus memenuhi aspek “Tri Hita Karana” yaitu aspek yang mencakup keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat akan terwujud jika seseorang mampu mewujudkan hubungan sinergis antara pawonga (penghuni rumah) , palemahan (linkungan dari tempat rumah tersebut berada) , dan parahyangan,” demikian diungkapkan oleh IGN H. Pawitra ST, Arsitektur sekaligus owner Sikut Satak Kontraktor.
Umumnya rumah adat masyarakat Bali juga dibangun dan dihiasi dengan pernah pernik ukiran khas bali yang memiliki nilai filosofis tersendiri. Ragam hias tersebut mengandung arti sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. “Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan lewat patung-patung Misalnya , pada patung-patung yang menyimbolakn pemujaan mereka terhadap sang pencipta, atau ucapan rasa syukur terhadap dewa-dewi yang telah melindungi rumah mereka dari marabahaya,” jelasnya. Masyarakat Bali merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi budaya dan tercermin lewat arsitektur rumah mereka.
Pada umumnya, bangunan atau arsitekturnya dipenuhi dengan hiasan berupa ukiran , peralatan serta pemberian warna. Sudut utara-timur adalah tempat suci yang digunakan sebagai pemujaan, dan Pemrajan (hunian keluarga) sedangkan sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk hunian.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling yang tidak hanya berfungsi sebagai penghalang pandangan kearah dalam yang mengedepankan privasi namun bermakna sebagai penolak pengaruh jahar atau jelek.
Di tengah hunian terdapat natah (halaman) yang merupakan pusat hunian. Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Anda akan menemukan tembok yang disebut aling-aling. Hadirnya aling-aling ini memperkuat sifat ruang positif yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut dengan penyengker.
Ruangan di dalam penyengker adalah ruangan dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktivitas dan kegiatan manusia dalam ruang disebut ruang lingkup sekaligus sebagai batas antara ruang positif dan negatif.
“Pada umumnya, rumah adat Bali memperhatikan keseimbangan antara aura negatif dan positif seperti yang terjadi pada feng shui pada masyarakat Cina,” ungkap Gusti Pawitra. Keunikan bangunan ini memang hanya ada di Bali, dan inilah yang diyakini membawa aura positif bagi penghuni dan masyarakat di Bali. *ita/editor rahadi