Pemerintah pusat hingga daerah mulai intens memberikan perhatian terhadap sektor pertanian. Sebagai negara agraris, pertanian menjadi satu hal penting yang harus mendapatkan prioritas selain pariwisata dan sektor ekonomi lainnya. Kenapa?
UPAYA membangkitkan sektor pertanian ini sering terkendala oknum-oknum yang berupaya mendobrak regulasi atau aturan yang ada sehingga mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian. Hal ini pula yang mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian sawah atau subak di Bali saat ini dalam tahap yang memprihatinkan.
Menurut Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, IB Wisnuardhana, alih fungsi lahan di Bali dalam lima tahun terakhir, yakni dari tahun 2013 hingga 2017 rata-rata 550 hektar per tahun. Jika dipersentase, hasilnya sekitar 0,4 persen. Jumlah ini tergolong cukup tinggi.
Dari data tersebut, pada 2017 saja terdapat peningkatan yang cukup signifikan. Angkanya mencapai 900 hektar lahan yang telah beralih fungsi, dengan persentasi 1,13 persen dari total lahan 78.626 hektar. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun 2016 yang mencapai 537 hektar dari total luas lahan 79.562 hektar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya alih fungsi lahan di Bali. Yang paling menjadi ancaman adalah bangunan untuk pemukiman, hotel, serta restoran. Namun, yang menjadi ancaman paling tinggi adalah pemukiman dengan makin banyaknya pertambahan penduduk di Bali. Lebih lanjut, untuk kebutuhan pemukiman umumnya terjadi di daerah pinggiran Denpasar. Di antaranya Gianyar, Badung, Tabanan. Masyarakat memilih daerah tersebut dengan pertimbangan harganya lebih terjangkau dibanding di Denpasar.
Selanjutnya, adalah pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan lainnnya. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir sudah jarang untuk pembangunan infrastruktur.
Dari sembilan kabupaten dan kota di Bali, Kabupaten Tabanan menjadi daerah penyumbang tertinggi alih fungsi lahan pada tahun 2017, yaitu seluas 363 hektar (ha). Buleleng berada di posisi kedua dengan luas total 325 hektar.
Sementara Jembrana dan Bangli relatif tidak ada penyusutan luas lahan persawahan. Adapun Badung (38 ha), Denpasar (35 ha), Gianyar (50 ha), Klungkung (64 ha), dan Karangasem (20 ha). Saat ini sektor pertanian menopang pendapatan daerah 14,92 persen atau sektor kedua terbesar berkontribusi bagi Bali setelah pariwisata (hotel dan restoran) yang menyumbang sekitar 22 persen berada di posisi pertama. Peningkatan anggaran pertanian tersebut, digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan membangun infrastruktur pertanian seperti waduk, irigasi, jalan dan penyediaan bibit unggul. Selain itu peningkatan kapasitas sumber daya manusia petani dengan penyuluhan dan pertukaran petani ke luar Bali juga dilakukan untuk memajukan pertanian di Pulau Dewata. Bantuan pascapanen juga diberikan pemerintah kepada para petani termasuk teknologi untuk meningkatkan kualitas produksi dan pemasaran hasil produksi pertanian.
Ketua DPD HKTI Bali Prof. Dr. Nyoman Suparta tidak menampik adanya alih fungsi yang makin memprihatinkan. “Meski regulasi sudah ada namun tak jarang justru didobrak oleh kepentingan kepentingan lain utamanya kepentingan politik padahal seharusnya aturan pertanian harua mengacu pada pasar dan permintaan masyarakat,” ungkapnya.
Ditambahkannya, ada beberapa hal yang menjadi garis besar penyebab mundurnya sektor pertanian selain regulasi atau aturan yang tidak dijalankan dengan maksimal. Sikap mental para pelaku pertanian juga mengakibatkan sulitnya sektor ini berkembang layaknya pariwisata. “Banyak pelaku pertanian yang masih berorientasi hanya menggarap lahan untuk keperluan pribadi dan tidak berorientasi untuk mengembangkan pendapatan dan ekonomi menjadi lebih baik,” jelas Prof. Suparta.
Petani yang betul-betul ingin maju dan bertahan di sektor ini hendaknya memikirkan 4 tepat dalam menggarap lahannya, yakni tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat kontinuitas. Hal inilah yang belum dipahami para pelaku pertanian. Edukasi terkait pola bertani yang tepat juga masih sangat minim, sehingga para petani hanya menguasai bagaimana pola bertani yang benar, namun tidak memahami bagaimana memasarkan dan mengolah produk pertaniannya sehingga memiliki nilai jual yang maksimal.
Meski diakui pada pemerintahan saat ini mulai dari tahun 2018 regulasi di bidang pertanian makin diintensifkan, meski dampaknya belum terlihat secara signifikan. Namun Prof. Suparta menilai, mulai ada peningkatan baik di bidang nilai jual ataupun ketahanan pangan dan hasil produksi.
Hal senada juga diungkapkan akademisi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Ni Wayan Sri Sutari, S.P., M.P. Edukasi di bidang pertanian harus dilakukan kontinyu sehingga bertani menjadi hal yang menyenangkan dan tidak dianggap sebelah mata. “Dengan mengenalkan bertani sejak dini dan bertani dengan cantik akan membuat orang ingin terjun langsung, pertanian tidak hanya dimulai saat duduk di bangku kuliah atau saat harus menggarap tanah warisan leluhur saja, namun dimulai dengan rasa senang mulai dari usia dini seperti saat mengisi liburan sekolah,” ucapnya.
Akademisi yang juga Ketua Wanita Tani di Desa Sanur ini juga mengedukasi para ibu agar mau menanam di lingkungan rumah, terutama produk produk pertanian yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti cabai, tomat dan aneka sayuran. (ita)