Denpasar (Bisnis Bali) – BPJS Ketenagakerjaan sepakat menandatangani Nota Kesepahaman bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nota Kesepahaman ini merupakan komitmen BPJS Ketenagakerjaan mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi serta gratifikasi dalam menjalankan kegiatan operasional.
Tidak hanya itu, BPJS Ketenagakerjaan juga menegaskan terkait kelola jaminan sosial aparatur pemerintah.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Bali Denpasar, Novias Dewo menyampaikan aturan yang terangkum dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) wajib dijalankan di seluruh daerah. Pemerintah daerah khususnya di Bali juga harus memberikan perlindungan sosial bagi aparaturnya sesuai Undang-Undang tersebut. Khusus di wilayah kerja BPJS Ketenagakerjaan Bali Denpasar, Novias Dewo memastikan seluruh pemerintah daerah setempat sudah mentaati peraturan tersebut.
“Bila tidak pastinya akan melanggar regulasinya dan potensi menjadi temuan auditor,” katanya.
Ia menegaskan pelaksanaan jaminan sosial mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Badan penyelenggara juga harus berbentuk badan hukum publik atau nirlaba sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Itu berarti seluruh pekerja di Indonesia memiliki kewajiban untuk bergabung sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu tentu untuk menjamin hak dalam mendapatkan perlindungan diri selama menjalankan tugas.
Penegasan tersebut juga datang dari
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto. Ia mengatakan yang dimaksud seluruh pekerja adalah orang yang mendapatkan penghasilan, baik menerima upah ataupun bukan penerima upah, pekerja formal ataupun informal, non-ASN, hingga buruh harian lepas, wajib berdasarkan undang-undang untuk memiliki perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan.
Tercatat, hingga akhir Desember 2018, jumlah pekerja di Indonesia yang telah memiliki perlindungan program BPJS Ketenagakerjaan mencapai 50 juta pekerja, di mana 1,5 juta pekerja diantaranya merupakan pegawai non-ASN.
“Pemberian layanan dan kepastian manfaat yang didapatkan oleh peserta serta relasi yang baik dengan pemerintah daerah tentunya menjadi jawaban atas pencapaian jumlah pegawai non ASN yang cukup tinggi, meskipun masih banyak hal lain yang perlu diperhatikan agar implementasi perlindungan bagi seluruh pekerja non ASN dapat terwujud,” katanya dalam informasi tertulis yang diterima.
Pernyataan Agus Susanto sekaligus menjawab statement Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf soal usulan agar pemerintah segera menyusun peta jalan atau roadmap khusus yang mengatur pengelolaan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi ASN, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pekerja non-ASN.
Dede Yusuf kala itu mengatakan, sejak awal posisi DPR tetap mengacu kepada UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, sehingga Peraturan Pemerintah (PP) yang terbit belakangan seharusnya patuh terhadap isi undang-undang tersebut.
“Kalau menurut saya ini karena pemerintah belum melebur badan-badan yang lain, sehingga semua masih berebut kepesertaan. Tentu dalam konteks ini kita melihat UU yang berlaku, itu menyatakan BPJS Ketenagakerjaan yang berhak. Kalau PP itu kan di bawah UU.
Kemungkinan besar nanti kita akan pertanyakan apa pasalnya dan bagaimana argumen pemerintah,” paparnya.
Senada dengan Dede, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari unsur pemberi kerja Soeprayitno mengatakan, berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, PT Taspen memang tidak termasuk dalam badan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Sehingga yang berhak untuk menyelenggarakan jaminan sosial berupa jaminan kematian dan kecelakaan kerja bagi ASN dan non-ASN adalah BPJS Ketenagakerjaan.
“Harusnya aturan yang diterbitkan diselaraskan dengan UU yang ada yakni UU SJSN dan UU BPJS. Jika Taspen ingin menyelenggarakan Jaminan Kematian dan Kecelakaan Kerja, maka perlu mengamandemen UU BPJS,” ujar Soeprayitno. Dia menyarankan, agar tidak terjadi polemik antara Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan, seyogyanya dua institusi ini bisa berdialog untuk menemukan solusi terhadap jaminan sosial bagi ASN dan non-ASN.
Pasalnya, jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan sudah komprehensif ada jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun. “UU BPJS harus jadi acuan dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Harus diselaraskan aturannya. Kalau tidak mau ya Undang-undangnya direvisi atau dikeluarkan Perppu,” tegasnya.
Di sisi lain BPJS Ketenagakerjaan dan KPK nantinya akan berkoordinasi sesuai dengan kewenangan dan kapasitas yang diatur sesuai ketentuan perundangan. Ruang lingkup kerjasama ini meliputi pertukaran data dan informasi, pencegahan tindak pidana korupsi, pelatihan, sosialisasi berkesinambungan, hingga pelaksanaan kajian dan penelitian.*dik
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Bali Denpasar, Novias Dewo menyampaikan aturan yang terangkum dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) wajib dijalankan di seluruh daerah. Pemerintah daerah khususnya di Bali juga harus memberikan perlindungan sosial bagi aparaturnya sesuai Undang-Undang tersebut. Khusus di wilayah kerja BPJS Ketenagakerjaan Bali Denpasar, Novias Dewo memastikan seluruh pemerintah daerah setempat sudah mentaati peraturan tersebut.
“Bila tidak pastinya akan melanggar regulasinya dan potensi menjadi temuan auditor,” katanya.
Ia menegaskan pelaksanaan jaminan sosial mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Badan penyelenggara juga harus berbentuk badan hukum publik atau nirlaba sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Itu berarti seluruh pekerja di Indonesia memiliki kewajiban untuk bergabung sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu tentu untuk menjamin hak dalam mendapatkan perlindungan diri selama menjalankan tugas.
Penegasan tersebut juga datang dari
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto. Ia mengatakan yang dimaksud seluruh pekerja adalah orang yang mendapatkan penghasilan, baik menerima upah ataupun bukan penerima upah, pekerja formal ataupun informal, non-ASN, hingga buruh harian lepas, wajib berdasarkan undang-undang untuk memiliki perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan.
Tercatat, hingga akhir Desember 2018, jumlah pekerja di Indonesia yang telah memiliki perlindungan program BPJS Ketenagakerjaan mencapai 50 juta pekerja, di mana 1,5 juta pekerja diantaranya merupakan pegawai non-ASN.
“Pemberian layanan dan kepastian manfaat yang didapatkan oleh peserta serta relasi yang baik dengan pemerintah daerah tentunya menjadi jawaban atas pencapaian jumlah pegawai non ASN yang cukup tinggi, meskipun masih banyak hal lain yang perlu diperhatikan agar implementasi perlindungan bagi seluruh pekerja non ASN dapat terwujud,” katanya dalam informasi tertulis yang diterima.
Pernyataan Agus Susanto sekaligus menjawab statement Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf soal usulan agar pemerintah segera menyusun peta jalan atau roadmap khusus yang mengatur pengelolaan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi ASN, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pekerja non-ASN.
Dede Yusuf kala itu mengatakan, sejak awal posisi DPR tetap mengacu kepada UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, sehingga Peraturan Pemerintah (PP) yang terbit belakangan seharusnya patuh terhadap isi undang-undang tersebut.
“Kalau menurut saya ini karena pemerintah belum melebur badan-badan yang lain, sehingga semua masih berebut kepesertaan. Tentu dalam konteks ini kita melihat UU yang berlaku, itu menyatakan BPJS Ketenagakerjaan yang berhak. Kalau PP itu kan di bawah UU.
Kemungkinan besar nanti kita akan pertanyakan apa pasalnya dan bagaimana argumen pemerintah,” paparnya.
Senada dengan Dede, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari unsur pemberi kerja Soeprayitno mengatakan, berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, PT Taspen memang tidak termasuk dalam badan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Sehingga yang berhak untuk menyelenggarakan jaminan sosial berupa jaminan kematian dan kecelakaan kerja bagi ASN dan non-ASN adalah BPJS Ketenagakerjaan.
“Harusnya aturan yang diterbitkan diselaraskan dengan UU yang ada yakni UU SJSN dan UU BPJS. Jika Taspen ingin menyelenggarakan Jaminan Kematian dan Kecelakaan Kerja, maka perlu mengamandemen UU BPJS,” ujar Soeprayitno. Dia menyarankan, agar tidak terjadi polemik antara Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan, seyogyanya dua institusi ini bisa berdialog untuk menemukan solusi terhadap jaminan sosial bagi ASN dan non-ASN.
Pasalnya, jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan sudah komprehensif ada jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun. “UU BPJS harus jadi acuan dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Harus diselaraskan aturannya. Kalau tidak mau ya Undang-undangnya direvisi atau dikeluarkan Perppu,” tegasnya.
Di sisi lain BPJS Ketenagakerjaan dan KPK nantinya akan berkoordinasi sesuai dengan kewenangan dan kapasitas yang diatur sesuai ketentuan perundangan. Ruang lingkup kerjasama ini meliputi pertukaran data dan informasi, pencegahan tindak pidana korupsi, pelatihan, sosialisasi berkesinambungan, hingga pelaksanaan kajian dan penelitian.*dik