Revisi Perda Desa Adat, Banyak Tumpang Tindih dan Kontraproduktif 

272
Suasana dengar pendapat

Denpasar (Bisnis Bali) – Revisi Perda Desa Adat yang tengah dibahas di DPRD Provinsi Bali, menurut sejumlah kalangan masih banyak yang tumpang tindih. Untuk itu pihak dewan masih mencari masukan dari berbagai kalangan dan melakukan dengar pendapat.

Dalam dengar pendapat yang dilaksanakan di oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali, Gede Pasek Suardika yang mendiskusikan sejumlah aspek strategis mengenai rancangan peraturan desa adat yang saat ini tengah dibahas di DPRD Bali bersama para pemangku kepentingan terkait.

“Saya kira tradisi seperti ini perlu terus kita bangun dan didiskusikan sehingga pembahasan di DPRD lebih mudah. Jangan sampai ada  konflik norma di dalam ranperda,” kata Pasek Suardika di sela-sela menjadi narasumber pada Rapat Dengar Pendapat dengan Masyarakat bertajuk Menakar Aspek Strategis Revisi Perda Desa Adat, di Denpasar.

Perihal pro-kontra nama LPD dalam ranperda desa adat, tetap mempertahankan LPD dengan kepanjangan Lembaga Perkreditan Desa ataukah diganti dengan Labda Pacingkreman Desa, juga menjadi topik yang mengemuka dalam acara rapat dengar pendapat tersebut.

Menurut Pasek Suardika, jika mengacu pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, nama LPD itu sudah menjadi “nama” sehingga harus tetap dipakai.

“Artinya kalau menggunakan istilah Labda Pacingkreman Desa dapat didefinisikan adalah lembaga perkreditan desa yang dimiliki desa adat. Atau kalau mau menggunakan Lembaga Perkreditan Desa adalah Labda Pacingkreman Desa. Jadi tinggal itu saja, sebenarnya, sehingga untuk nama LPD tidak menjadi hal subtansial yang diperdebatkan dalam pembahasan ranperda,” ucapnya.

Aspek strategis lainnya dalam ranperda desa adat yang mengemuka dalam diskusi yakni mengenai posisi Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) soal hulunya dan ke mana ketertundukan filosofinya.

“Kalau desa adat selama ini filosofinya ke Tri Kahyangan di masing-masing dan di sana pelantikannya. Kalau MMDP dan MUDP dimana, posisinya dengan pemerintah bagaimana, hirarkinya bagaimana?,” ucapnya bertanya

Para peserta rapat dengar pendapat mayoritas berharap agar MMDP dan MUDP lebih banyak berperan menjadi lembaga yang membina desa adat, bukan sebagai atasan dan bawahan dengan desa adat.

“Karena sejatinya desa adat itu adalah lembaga otonom jika dibaca aturannya dalam konstitusi. Desa adat merupakan lembaga otonom yang tidak bisa dibuat hirarki seperti tata kelola pemerintahan modern,” kata Pasek Suardika yang juga politisi Partai Hanura itu.

Sementara itu, I Made Dauh Wijana, anggota Pansus Ranperda Desa Adat DPRD Bali mengatakan sebenarnya  ada sejumlah hal yang masih tumpang tindih dan kontraproduktif dalam ranperda tersebut. Contoh tentang nama LPD kenapa harus diubah namanya menjadi Labda Pacingkreman Desa.

Menurut dia, kalau alasannya menggunakan istilah lokal Bali, mengapa juga nama Ranperda justru Ranperda Desa Adat dari sebelumnya Ranperda Desa Pakraman.

“Oleh karena itu masukan-masukan ini memang perlu kami dalami lagi, sehingga benar-benar perda yang strategis ini bisa implementatif, untuk mengantisipasi Bali ke depan, minimal 10 tahun ke depan,” ucapnya pada acara yang juga menghadirkan narasumber Gde Made Sadguna dan Ketut Sumarta tersebut.

Jangan sampai  ranperda yang disusun ini, ketika sudah disahkan ternyata tidak implementatif bahkan dalam dua tahun sudah terjadi persoalan-persoalan yang tidak mampu dijawab.

“Selain itu, bagaimana tetap terjaminnya otonomi desa pakraman. Bendesa (pimpinan desa adat) itu harus tetap otonom, namun ketika ada atasan seperti Majelis Madya dan Majelis Agung apakah masih tetap  bisa dijaminkan otonominya?,” ujarnya mempertanyakan.

Untuk penyempurnaan ranperda, pihaknya membuka ruang diskusi dan ruang sosialisasi. Bahkan untuk setiap detailnya juga disampaikan saat tatap muka dengan masyarakat untuk mendapatkan umpan balik. (pur)