Dalam upaya mengurangi keberadaan sampah plastik, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali membuat aturan terkait pengurangan penggunaan kantong plastik. Dari sisi ekonomi, niat baik ini ternyata memberi dampak terhadap penurunan omzet bagi pelaku usaha plastik. Akankah pedagang plastik tereliminasi?
PER 1 Januari 2019, aturan ini mulai diikuti terutama oleh pasar atau toko modern yang tidak lagi menyediakan kantong plastik untuk konsumen. Demikian juga aturan ini telah disosialisasikan di pasar-pasar tradisional khususnya di Kota Denpasar dan pedagang diimbau untuk mengurangi sampah pastik.
Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Denpasar, Ida Bagus Kompyang Wiranata, mengatakan, terkait sosialisasi yang dilakukan, sejak awal bulan lalu, pengurangan sampah plastik di pasar-pasar tradisional sudah mulai terasa. Selain memberi imbauan kepada pedagang melalui media pengeras suara, iklan baliho hingga pengawasan petugas lapangan, pembeli di pasar tradisional juga diedukasi agar membawa tas belanja serta pembagian tas belanja ramah lingkungan secara gratis. Meski dirasa cukup sulit direalisasikan di pasar tradisional, sosialisasi yang dilakukan cukup memberi perubahan.
Namun di sisi lain, tindakan pengurangan penggunaan plastik yang mulai dilakukan ini ternyata memberikan pengaruh terhadap menurunnya omzet yang dirasakan oleh pedagang plastik. Belum lama ini, pedagang plastik di bawah naungan asosiasi pedagang plastik (Adaplas) mendatangi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali yang menyampaikan keresahan atas penurunan omzet yang dirasakan.
Keresahan yang dialami para pelaku usaha tidak hanya terhadap penurunan omzet yang sudah dirasakannnya, namun keresahan juga timbul jika suatu saat usaha yang dijalani selama ini harus tereliminasi.
Ketua Adaplas Bali, Adi Supriadi, saat ditemui, belum lama ini mengatakan, keresahan anggotanya mulai terjadi sejak awal bulan ini. Para pelanggan khususnya dari toko-toko modern mulai berkurang. Dia mengakui, pihaknya sama sekali belum ada persiapan untuk menyediakan kemasan ramah lingkungan pengganti plastik yang bisa dijual untuk saat ini dan ke depan.
Demikian juga pihaknya masih kebingungan memastikan kemasan apa yang diperbolehkan atau yang tidak sama sekali boleh dijual. “Kategori plastik sekali pakai itu yang belum jelas, mana yang tergolong plastik sekali pakai, apakah diukur ketebalannya atau bagaimana. Kemudian lebih luas lagi apakah setiap produk yang berkemasan plastik yang dikategorikan sekali pakai tidak diperbolehkan masuk ke Bali atau hanya pengusaha seperti kami saja yang terancam gulung tikar,” ujarnya sembari mengatakan pedagang plastik di Bali berjumlah sekitar 1.000 lebih.
Untuk itu, pihaknya mengharapkan, agar pemerintah memastikan kategori plastik yang boleh dipakai dan boleh dijual oleh pihaknya. “Demikian juga kami diarahkan kemasan ramah lingkungan seperti apa yang harus kami jual,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M. mengatakan, situasi memang cukup sulit jika harus melihat keuntungan semua pihak. “Pemerintah tentunya memiliki tuntutan terhadap kebersihan lingkungan terutama bagi Bali yang menjadi objek wisata dunia,” ungkapnya.
Namun, lanjutnya menjelaskan, di sisi lain banyak komponen yang belum siap, baik itu pedagang plastik yang harus kehilangan omzet hingga sekian persen termasuk pedagang termasuk toko modern pun dikatakannya belum siap. Dijelaskannya, banyak keluhan bagi pedagang yang karena tidak ada plastik pembeli mengurangi belanjaannya, atau bahkan pindah tujuan. “Hal ini pun memberi pengaruh terhadap turunnya omzet bagi pedagang karena karena belum siap dengan alternatif lain,” ujarnya.
Diakuinya, kebijakan yang dibuat pemerintah ini memang belum disertai dengan alternatif pengganti plastik yang dapat digunakan, sehingga membuat sebagian masyarakat belum siap dengan situasi ini. Namun, demi menjaga lingkungan hal ini harus dilakukan yang para pengusaha terkait harus menyesuaikan dengan perubahan. “Seperti halnya dengan adanya perkembangan teknologi mendorong tumbuhnya ojek online dan membuat beberapa kendaraan umum konvesional harus tergerus. Hal ini pun harus diikuti yang ke depannya akan menjadi sebuah kebiasan yang bisa diterima oleh semua pihak,” jelasnya.
Demikian juga fenomena pengurangan plastik saat ini, dikatakannya, pengusaha terkait harus mampu mengikuti perkembangan yang terjadi. Sama hal seperti keberadaan ojek online, ke depan akan ada pembiasaan tanpa memberi kerugian bagi pihak lain. (wid)