Denpasar (Bisnis Bali) – Memasuki 2019 saat ini, kalangan perbankan tidak lagi mempersiapkan diri menuju era industri keuangan atau MEA 2020 . Tahun ini bank seharusnya sudah siap di segala sektor jika tidak ingin tertinggal bank-bank luar dengan modal besar.
Rektor Undiknas University, Prof. Dr. Gede Sri Darma, DBA. di Renon mengatakan, kesiapan bank yang harus dimiliki tahun ini yaitu dari sisi teknologi yang mengarah ke digitalisasi karena ke depannya transaksi tidak lagi uang tunai (cashless). Belanja atau transaksi pembayaran nantinya cukup menggunakan QR code.
“Pada 2020 akan memungkinkan bank-bank besar luar akan masuk ke dalam negeri sehingga bank umum maupun BPR di dalam negeri harus siap dari sisi permodalan termasuk IT mengingat eranya digital banking,” katanya.
Ia melihat sekarang mana ada bank murni Indonesia, kecuali Bank BUMN seperti BNI, BRI, BTN, Mandiri dan BCA. Bank di luar BUMN beberapa umumnya sudah diakuisisi bank milik negara asing.
Perbankan harus melakukan peningkatan mengingat tantangan menuju digital banking sangat kuat. Digital banking perlu diperkuat karena terjadi perubahan pola konsumsi, keinginan masyarakat dan kebutuhan kaum milenial yang menginginkan sesuatu yang mudah serta cepat. Termasuk menghadapi tantangan teknologi finansial atau tekfin untuk pembayaran maupun pendanaan atau peer-to-peer (P2P) lending.
“Bila bank tidak kuat investasi di IT, akan ditinggal oleh nasabahnya karena berkaitan dengan kepercayaan,” ujarnya.
Saat ini saja, kata Prof. Sri Darma, pembukaan rekening sudah bisa melalui online. Transaksi perbankan menuju ke digital maka dari sisi SDM ke depannya bank tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Ke depan dengan adanya MEA perbankan pada era 2020, ia menilai cukup ada 4 bank BUMN di Indonesia. BPR pun diharapkan untuk tidak berekspansi lagi, karena ke depan persaingan akan makin ketat.
Di era MEA perbankan dari sisi bunga simpanan bank juga akan mendekati nol. Kondisi ini dinilai akan bagus karena dengan demikian suku bunga kredit juga akan turun. “Suku bunga simpanan yang makin dekat nol akan makin bagus bagi ekonomi karena berarti uang tidak tersimpan melainkan berputar, dipakai untuk usaha,” jelasnya.
Itu terjadi di Inggris. Nasabah sangat kecil menyimpan uang di bank karena tidak dapat bunga, ditambah uangnya dipotong oleh pajak hingga biaya administrasi.
Menurut dia, suku bunga perbankan cukup besar selama ini karena adanya persaingan yang ketat antarbank sendiri. Jumlah bank pun cukup banyak di dalam negeri. Tak heran bank berani memberikan suku bunga simpangan maupun deposito tinggi, secara kasar tentu suku bunga pinjaman harus tinggi. Untuk itu, perbankan perlu dimerger atau pun konsolidasi agar persaingan bisa ditekan. Persaingan bisa ditekan tentu dengan pemberlakuan suku bunga ringan.
Untuk menuju persaingan perbankan yang akan diimplementasikan pada 2020, kata dia, fokus utama kesehatan perbankan harus menjadi perhatian serius dan perlu ditingkatkan.
“Dengan merger jumlah bank yang kuat akan lebih banyak, daripada sendiri-sendiri tetapi tidak ada bank yang kuat dari segi permodalan,” paparnya.
Wakil Ketua Kadin Bali Bidang Finansial dan Moneter IB Kade Perdana mengatakan ekonomi kreatif perlu mendapat sentuhan kredit perbankan agar bisa menjadi kuat dan mendorong daya saing terutama menghadapi MEA perbankan 2020 mendatang.
Tak hanya itu, bank juga perlu lebih menitikberatkan pada sistem pembayaran yang kuat dari infrastruktur dalam upaya meningkatkan efisiensi dan keamanan bertransaksi di era globalisasi.
“Untuk menghadapi itu, yang diperlukan adalah sistem pembayaran yang terintegrasi. Tantangan untuk mewujudkan itu tidaklah mudah, di antaranya penyiapan infrastruktur online yang tepat waktu (real time online) yang terintegrasi saat ini stndarisasi belumlah ada,” katanya. (dik)