Amlapura (Bisnis Bali) – Perusahaan rafting yang tak berizin alias bodong mesti ditertibkan jika ingin menghindari kebocoran retribusi destinasi wisata wisata tirta di Karangasem. Jangan hanya memonitoring perusahaan rafting yang sudah berizin dan taat membayar retribusi atau pajak.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Rafting Telaga Waja I Wayan Sami dan pemilik Bali Mitra Wahana (BMW) Made Kertiana di sela-sela koordinasi dan monitoring ke usaha rafting Rabu (28/11) di Karangasem. Monitoring itu dipimpin Ketua DPRD Karangasem Nengah Sumardi, Ketua Komisi III Gusti Agung Dwi Putra dan sejumlah anggota Dewan, serta dari Dinas Pariwisata Karangasem, Sekdis Pariwisata Komang Kasmana.
Wayan Sami pemilik Dewata Rafting mengatakan, dulu sebelum erupsi Gunung Agung sekitar September 2017, usaha rafting di Sungai Telaga Waja total mencapai 14 usaha. Kini tinggal delapan usaha. Penyebab tutup dan sampai kini ada usaha belum beroperasi, selain karena usaha rafting itu sempat tutup karena berada di kawasan rawan bencana, serta wisatawan tak ada datang, juga prasarana yang dulu hancur akibat diterjang banjir lahar dingin. Jalur rafting juga rusak, akibat batu-batu besar yang menghalangi, endapan lumpur, pasir dan material lainnya termasuk sampah dari pepohonan. ‘’Tangga di bendungan Bajing jebol, padahal tangga itu penting untuk turun perafting yang berani melompat atau jumping di terjunan air sungai di bendungan Bajing,’’ ujar Sami.
Sami menambahkan, praktik persaingan yang tak sehat, seperti banting harga sesama operator usaha rafting di wilayah itu juga menyebabkan usaha itu guncang. Dulu meski sempat ada penetapan harga atau tarif rafting, ada yang melanggar. Pelanggar kesepakatan untuk sekadar jalan atau mendapatkan klien, agar ada pemasukan dan tenaga kerjanya tak nganggur. ‘’Selain membantu Pemkab Karangasem dalam memungut dan menambah PAD dari rafting, kami di usaha rafting juga mampu menyerap ratusan tenaga kerja,’’ kata Sami.
Menurutnya, ada usaha rafting yang satu sampai dua tahun tak membayar pajak atau tak menyetor retribusi. Dia mempertanyakan, kenapa yang tak menyetor retribusi itu tak pernah disidak, sementara yang rajin membayar dan memiliki izin terus didatangi pihak pemerintah. Menurutnya, pengusaha yang usaha raftingnya tak berizin, karena tak menyetor pajak atau retribusi, dia bisa banting harga, menjual paket lebih murah. Sementara, yang memiliki izin, kalau menjual paket murah, tak akan mampu menutupi biaya operasional. ‘’Harga paket per orang asing Rp 200 ribu sampai Rp 225 ribu, yang wisatawan lokal Rp 200 ribu, tetapi ada yang minta Rp 180 ribu, juga dijual paketnya. Inilah praktik banting harga yang merugikan. Dulu kesepakatnnya harga per paket untuk wisman Rp 200 ribu. Sementara untuk retribusi per orang asing kena Rp 30 ribu dan wisnus Rp 20 ribu,’’ papar Sami.
Saat ditanya dari delapan usaha rafting yang masih beroperasi, berapa yang tak berizin, Sami tak mau menyebutkan, dengan alasan nantinya menjadi masalah pribadi atau dinilai sebagai bentuk persaingan yang tak sehat. ‘’Soal mana yang tak berizin, silakan tanyakan ke Pol PP atau Dinas Perizinan. Kan sudah ada pemerintah, punya Pol PP dan Dinas Perizinan,’’ katanya
Menurut Sami, usaha rafting yang tak berizin itu tidak banyak. Karena tak berizin, pemkab juga tak bisa mendapatkan retribusi dari sana. ‘’Usaha rafting yang berizin seperti kami ini banyak membayar pajak. Ada pajak pendapatan, biaya ngurus izin, juga kena pajak air permukaan. Pajak air permukaan itu dipungut Pemprov Bali melalui UPT Dinas Pendapatan yang di Kantor Samsat itu. Pajak air permukaan itu ada hitungannya, dan kami kena berkisar Rp 400 ribu per bulan. Namun karena kondisi dari terkait siaga Gunung Agung, masih ada toleransi,’’ katanya.
Di lain pihak, Sekdis Pariwisata Komang Kasmana mengatakan, jumlah usaha rafting yang masih beroperasi di jalur sungai Telaga Waja itu, sebanyak sembilan usaha. Namun, dia mengaku tak tahu usaha mana yang sudah berizin dan mana yang belum. ‘’Kami akan cek lagi ke Dinas Perizinan,’’ katanya.
Dia mengatakan, tak ada kebocoran dalam pemungutan retribusi pada usaha rafting di Telaga Waja itu. Menurutnya, pihaknya sudah menempatkan petugas pemantau pemungutan retribusi di tiap usaha rafting itu. ‘’Kami hanya menempatkan petugas pemantau, karena sesuai aturannya, pajak atau retribusi itu menganut self asesment atau pengusaha itu sendiri yang ditugasi memungut pajak atau retribusi dari kliennya atau wisatawannya, melaporkan dan menyetorkan ke Bendahara Dinas,’’ ujar Kasama.
Ketua DPRD Karangasem Nengah Sumardi, meminta pejabat Dinas Pariwisata Karangasem memperhatikan aspirasi atau masukan dari para pengusaha rafting itu. Tambah Sumardi, pengusaha rafting menginginkan diberikan prasarana berupa tangga di beberapa lokasi, seperti di Dam Bajing, Desa Sangkan Gunung. ‘’Pengusaha juga berharap Pemkab menyediakan areal parkir, sehingga retribusi parkir juga bisa dipungut Pemkab Karangasem,’’ tandas Sumardi. (bud)