Mangupura (Bisnis Bali) – Kuliner selama ini hanya berkembang menjadi bagian dari wisata. Padahal, jika dikaji secara mendalam, kuliner bisa menjadi instrumen diplomasi yang ampuh untuk mengemukakan budaya dan identitas bangsa, serta merupakan salah satu currency potensial pariwisata Indonesia. Inilah yang dinamakan gastronomi. Demikian disampaikan Traveling Chef sekaligus pakar gastronomi Indonesia, Wira Hardiyansyah ketika menjadi salah satu pembicara di acara Arisan Rasa di Dalung, Kuta Utara.
Ia menilai,kebanyakan orang hanya menikmati kuliner, namun tak tahu sejarahnya. “Orang melakukan wisata kuliner, sehabis makan ya selesai. Padahal, banyak hal yang bisa dikaji dari makanan tersebut. Misalnya, sate lilit Bali. Mengapa dinamakan sate lilit? Sate ini terkenal di daerah mana? Dan lain-lain. Ini bisa menjadi identitas budaya daerah setempat,” ungkapnya.
Sementara pembicara lain, seorang Sociopreneur dan pegiat gaya hidup sehat, Pande K. Trimayuni mengatakan kuliner masih sangat prospektif dilihat dari aspek kewirausahaan. Seni makan sejatinya punya nilai tambah untuk bisnis makanan.
Orang mau membayar makanan sampai jutaan rupiah karena ada suatu nilai yang dibelinya (value added). “Ada cara, seni dan pelajari sejarahnya. Ada cerita dibalik makanan. Inilah gastronomi,” ucapnya.
Dari segi sociopreneurship, makanan Bali memiliki potensi. Hanya saja sekarang perlu dilakukan branding agar dikenal lebih luas. “Minimal ada satu jenis makanan yang bisa dijadikan branding. Misalnya, lawar. Seperti halnya pasta dari Italia, curry dari India atau sushi dari Jepang. Semua daerah di Indonesia perlu melakukan itu,” tegasnya.
Kegiatan ini juga mengajak peserta yang sebagian besar komunitas kuliner ini untuk bertukar ilmu membuat konten kreatif yang dipandu oleh Head of Creative Content Travelingyuk.com, Rero Rivaldi. (dar)