GUNA menjaga pendapatan petani padi agar tetap menguntungkan dari hasil usaha yang telah dilakoni, pemerintah telah menetapkan harga beli untuk pembelian produk melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Ironisnya, meski dijamin dengan HPP, petani padi malah cenderung menjual produk tak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam kebijakan tersebut atau jual produk secara tebasan. Apa sebabnya?
Selain dihadapkan makin mahalnya biaya produksi padi, petani di Bali masih dihadapkan pada permasalahan klasik terkait pascapanen. Kondisi tersebut seringkali menjadi faktor pengurang nilai jual terhadap hasil budi daya yang telah dilakukan selama beberapa bulan terakhir. Akibatnya, pendapatan yang diterima petani akhirnya juga menjadi tidak maksimal pada musim panen raya.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana mengungkapkan, sekarang ini harga gabah oleh pemerintah sudah diatur melalui ketentuan HPP. Yakni, Rp 3.700,00 per kg di tingkat petani dan Rp 3.750,00 per kg di tingkat penggilingan. Bercermin dari ketentuan tersebut, artinya tidak boleh transaksi gabah ini berada di bawah Rp 3.700 per kg.
Di sisi lain, sekarang ini harga gabah dipasaran cukup mahal dengan mencapai Rp 4.500 per kg, dan bahkan bila petani ini mau menjual produksi dalam bentuk beras, maka harga yang diterima petani ini bisa lebih meningkat lagi dengan mencapai Rp 10.000 per kg. Sayangnya, meski diamankan dengan kebijakan HPP, selama ini kecendrungan petani yang masih banyak menjual produksi dalam bentuk tanaman atau sistim tebasan.
“Perilaku petani tersebut memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan, karena mereka (petani) mungkin ingin cepat mendapatkan modal usaha untuk membiayai usaha tanam selanjutnya. Namu, akibatnya pendapatan yang mereka terima menjadi tidak maksimal,” tuturnya.
Hingga kini hampir 80 persen petani di Bali menjual produk saat panen dalam bentuk tebasan. Akibatnya, pendapatan mereka (petani) menjadi tidak maksimal alias dihargai dengan sangat murah. Ketika menjual produk dalam bentuk tanaman, maka prilaku sejumlah petani itu hanya akan mendapatkan hasil mencapai Rp 2.200 per kg.
Hal tersebut diakui Made Suama salah seorang petani di Tabanan. Dengan kepemilikan lahan sawah mencapai 165 hektar saat musim panen, pihaknya memang cendwrung menjual padinya di sawah dengan sistim tebas. Sistem penjualan tersebut memang berisiko pendapatan yang diterima menjadi lebih murah dibandingkan menjual panen dalam bentuk gabah. Sebab, untuk menghitung harga umumnya dilihat dari luasan per are dan memperthitungkan kualitas padi.
“Namun tetap saja itu ditempuh, karena minimnya jumlah tenaga panen padi sekarang ini. Selain itu, meski pendapatan akan menjadi kecil, namun cara tersebut praktis dalam mendapatkan imbal hasil,” tandasnya. (man)