UPAYA pelemahan desa pakraman tampaknya tak hanya oleh derasnya penetrasi sosial dan budaya, tetapi juga sudah masuk menggunakan instrumen alat negara. Gede Pasek Suardika, Ketua PULD DPD RI, menilai, kondisi tersebut harus disikapi secara hati-hati dan penuh perhitungan.
“Tak menutup kemungkinan ada hidden agenda dibalik semua itu. Oleh karenanya, Desa Pakraman harus bersatu menghadapinya,” ujarnya.
Peristiwa dugaan kriminalisasi di Desa Pakraman Tanjung Benoa, Sanur dan Tampaksiring dan lainnya seakan mengindikasikan adanya sistematisasi pola melemahkan desa pakraman yang jadi tulang punggung Bali. “Desa Pakraman sudah diakui sebelum republik ini ada, tetapi di dalam setiap pidato pejabat dipuji tetapi dalam realitanya sering dianggap bagian penghambat nafsu kapitalis yang ingin menghisap Bali,” tukas politisi asal Buleleng tersebut.
Dikatakan, sejak lama pihaknya sudah mengingatkan, pentingnya Bali berjuang mempertahankan eksistensinya secara sistematis yuridis dan jangan hanya sporadis semata. Sayangnya tak mendapatkan dukungan yang kuat.
Contoh konkret, lewat rapat Tripartit 2015 yg lalu telah diputuskan bersama DPR RI, DPD RI dan Pemerintah untuk merevisi UU tentang Propinsi Bali. Sudah masuk longlist nomor 27 tetapi setelah dikomunikasikan di Bali tampaknya hanya angin sorga saja respon pejabat di Bali.
“Sekarang sudah jelang Pemilu tetapi input balik dari Bali tidak ada. Padahal memasukkan ke Prolegnas itu tidak mudah harus berdebat keras saat Saya jadi ketua PPUU DPD Bali dan sendirian wakil Bali dalam rapat tersebut. Tinggal selangkah dari RUU jadi UU tetapi para petinggi di Bali malah sibuk urus yang lainnya,” tukasnya.
Momentum kedua ketika UU Desa diberlakukan, para pejabat Bali yang berkuasa malah tak menggubris keberadaan Bab XIII tentang Desa Adat yang bisa menjadikan Bali terasa daerah istimewa. “Tidak ada pemimpin yang mau susah menjalankan ketentuan itu sehingga kini satu bab UU Desa itu menjadi mati suri bagi Bali. Kini dengan label pidana pungli, pungutan yang didasarkan pada pelaksanaan Perarem Desa Pakraman mau dikategorikan sebagai ilegal,” ucapnya.
Hal tersebut pelecehan terhadap eksistensi Desa Pakraman. “Para aparat negara, siapapun dia, harus belajar dulu konstitusi jangan jadi robot ikuti perintah oknum. Untuk tugas di Bali dia harus memahami denyut nafas adat istiadat Bali, bukan hanya pakai pakaian adat Bali lalu baliho nampang dimana-mana sudah dicap memahami Bali,” katanya.
Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia diakui dan dilindungi. Makna dilindungi dalam konstitusi artinya juga sah semua keputusannya berlaku di wilayah adat masing masing. Baca dulu Pasal 18 UUD NRI 1945 secara lengkap. Jadi sah Awig-awig maupun Perarem itu berlaku di Republik ini dan diakui berlaku di wilayah adat masing-masing tersebut.
“Jika ada pejabat tidak mengerti dan tidak mau mengerti tentang Bali sebaiknya tugas di luar Bali saja. Terlalu namanya Desa Pakraman dilemahkan secara psikologis, yuridis dengan cara sistematis,” tandasnya geram.
Pasek, mengajak Desa Pakraman di Bali khususnya di daerah wisata untuk mempersiapkan diri menghadapi upaya pelemahan ini dengan sikap tegas dan berani. “Untuk hidup dan eksis memang Desa Pakraman berhak mengelola wewidangannya juga. Lakukan dengan terukur dan bertanggungjawab, jele melah gumi gelah,” pungkasnya. (pur)