Mangupura (Bisnis Bali) – Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menilai, kolaborasi merupakan hal yang penting di sektor ekonomi kreatif (ekraf). Indonesia kaya warisan budaya yang memudahkan peningkatan industri kreatif, seperti fashion, kuliner, seni, kerajinan, dan hiburan. Hal tersebut menjadi penggerak ekonomi Indonesia sehingga mampu menghadapi krisis ekonomi.
“700 etnis yang terbentang dari Sabang sampai Merauke merupakan modal utama dalam pengembangan ekraf. Oleh karena itu, saya yakin Indonesia bisa menjadi negara dengan ekraf terbesar di Asia Tenggara,” tegas Menlu Retno disela-sela World Conference on Creative Economy (WCCE) 2018 di Nusa Dua, Kamis (8/11).
WCCE diharapkan dapat menjadi katalisator dalam mengumpulkan komitmen dunia untuk mendirikan Global Center of Excellence and International Cooperation for Creative Economy (Pusat unggulan dan kerja sama internasional untuk ekraf) di Indonesia sehingga memberi kontribusi dalam menciptakan ekonomi global yang lebih baik dan inklusif, apalagi kini telah memasuki era revolusi industri 4.0.
Sementara itu Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf menyampaikan, ekraf memiliki peranan penting dalam perekonomian dunia. Pada 2015 ekraf berkontribusi sebesar 2,250 miliar dolar AS atau sekitar 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dunia. Ekraf juga mempekerjakan sebanyak 1 persen dari populasi dunia. Hal tersebut diyakini terus tumbuh dan makin inklusif dengan dukungan perkembangan teknologi.
“Inilah yang mendorong Indonesia untuk menginisiasi pusat unggulan ekraf melalui kegiatan WCCE 2018. Mengingat ekraf memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan ekonomi global,” kata Triawan Munaf.
Sejalan dengan perkembangan dunia, ekonomi kreatif nasional terus tumbuh dengan kontribusi lebih dari 7,4 persen terhadap PDB. Sebanyak 17 juta orang bekerja di sektor ekraf atau 14 persen dari total pekerja dan didominasi oleh perempuan, yakni 54 persen. (dar)