Denpasar (Bisnis Bali) – Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed diprediksi kembali menaikkan suku bunga pada September dan Desember mendatang. Total selama 2018 asumsi kenaikan bunga The Fed mencapai empat kali dengan kisaran 25 basis point.
Pemerhati ekonomi dan perbankan, Prof. Dr. Gede Sri Darma di Sanur, Senin (3/9) mengatakan, bisa saja prediksi kenaikan Fed rate ketika rapat FOMC tak terjadi. Kendati demikian, jika bunga Fed benar-benar naik tentu Bank Indonesia akan menyikapi dengan kenaikan bunga acuan BI 7DRR.
“Bagi kalangan bank tentu kenaikan bunga The Fed harus diimbangi dengan kenaikan bunga simpanan agar investor tetap mencintai rupiah,” katanya.
Rektor Undiknas University ini menyampaikan, imbas dari kebijakan kenaikan bunga The Fed akan membuat nilai tukar rupiah makin tertekan. Nilai tukar rupiah terdepresiasi akibat terjadinya pengalihan aset. Investor akan mengalihkan aset dari negara berkembang, termasuk Indonesia ke Amerika.
Tak hanya itu, imbas lainnya daya beli masyarakat akan menurun seiring kenaikan inflasi yang makin tinggi. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan makin lambat.
“Investor akan lebih suka memilih dolar AS sehingga secara tidak langsung juga akan mempengaruhi indeks harga saham gabungan kembali tertekan,” ucapnya.
Untuk itu ia berharap ada sentimen positif agar bisa menyelamatkan nilai rupiah dari depresiasi.
Hal sama dikatakan pemerhati ekonomi lainnya Dr. Indrawan. Guna mengantisipasi kemungkinan kenaikan bunga The Fed langkah BI menaikkan suku bunga acuan dinilai tepat karena mengantisipasi rupiah kian melemah. Kenaikan BI 7 DRR agar return atau imbal hasil investasi domestik lebih menarik dan bisa menahan dana asing keluar.
“Bila bunga acuan naik tentu bank perlu menaikkan bunga simpanan. Cara antisipasi lainnya tentu kinerja ekspor harus tumbuh positif dan cadev naik,” ujarnya.
Sebelumnya Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, bila The Fed menaikkan suku bunga akan membuat investor global menarik dana dari negara berkembang sehingga terjadilah capital outflow. Ini pula menjadi pemicu nilai tukar di beberapa negara ikut melemah.
Menyikapi hal tersebut, Perry mengakui tantangan menjaga stabilitas perlu direspon baik dengan sinergi antara pemerintah, otoritas hingga BI. Respon tersebut melalui bauran kebijakan, antara lain mencakup kebijakan moneter, nilai tukar, pendalaman pasar keuangan dan makroprudensial.
“Selain memperkuat ketahanan perekonomi juga harus merespon lewat bauran kebijakan supaya menjadi optimal sehingga dapat merespon ketidakpastian ekonomi keuangan global,” terangnya. (dik)