Denpasar (Bisnis Bali) – Kalangan perbankan hingga saat ini belum merealisasikan kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait pelonggaran peraturan loan to value (LTV) atau financing to value (FTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Salah satunya, DP nol persen.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia (DPD-REI) Bali, Pande Agus Permana Widura membenarkan aturan pelonggaran LTV sudah berlaku mulai 1 Agustus 2018, namun realisasinya belum ada.
“Aturan LTV sudah diterapkan bahkan developer sudah menggunakan sebagai gimik marketing perumahan, tetapi di lapangan belum ada bank secara ofisial mengeluarkan DP nol persen,” katanya.
Pihaknya secara pasti belum mengetahui apa kendala bank dalam penerapan pelolanggaran LTV tersebut. Meski demikian, ia memprediksi kendala KPR dengan uang muka nol persen berkaitan dengan bunga cicilan.
“Bila DP nol persen estimasi kami akan memberatkan kreditur dalam mencicil rumah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” ujarnya.
Alasan inilah REI Bali berharap selain uang muka bisa nol persen, bunga cicilan pun bisa diturunkan mengingat kedua hal tersebut menjadi pertanyaan calon pembeli rumah. Ia menilai, masyarakat mengetahui DP dan berapa cicilan rumah merupakan hal penting sebagai langkah berikutnya bagi mereka untuk mengetahui spek, dan lokasi rumah.
“Bila DP dan cicilan dianggap menghambat bagi calon pembeli dipastikan masyarakat tidak jadi membeli rumah,” terangnya.
REI Bali berharap pemerintah membuat aturan baru di tengah-tengah antara kebijakan rumah subsidi dengan rumah nonsubsidi atau komersial.
“Rumah subsidi di Bali kisaran Rp148 juta sedangkan komersial di atas Rp500 juta. Formula baru di tengah-tengah itu kami harapkan bisa dibuatkan aturan harga rumah subsidi Rp250 juta- Rp300 juta,” paparnya.
Formula baru itu diperlukan, mengingat rumah subsidi dengan harga Rp148 juta tak bisa diterapkan di semua kabupaten di Bali karena harga lahan yang mahal. Berbeda halnya jika harga rumah Rp250 juta – Rp300 juta.
“Tentunya pemerintah harus memberikan subsidi bunga sehingga bunga bisa kisaran 6 persen dengan syarat penghasilan lebih Rp4 juta,” imbuhnya.
Pande Widura mengakui pasar di antara rumah subsidi dengan komersial sangat terbuka di Pulau Dewata. Pasar tetap ada karena masyarakat berpenghasilan di atas Rp4 juta relatif ada namun untuk membeli rumah komersial di atas bunga 9 persen susah bagi mereka.
Berbicara kesiapan bank, ia optimis beberapa perbankan sudah siap. Contoh, ada bank yang memberikan bunga 5,58 persen kendati syaratnya pembeli harus memiliki payroll gaji masuk ke bank tersebut.
“Bila di tengah-tengah itu dengan bunga 6 persen, kami yakin bisa menumbuhkan bisnis properti,” jelasnya.
Berdasarkan rincian di lapangan untuk cicilan rumah subsidi sudah bisa sampai bunga 5 persen KPR. Sementara menjual rumah di atas Rp 500 juta dengan cicilan 20 tahun dan bunga 9 persen, simulasi cicilan dibayarkan Rp3,8 juta. Berbeda bila di tengah aturan tersebut dengan bunga 6 persen maka cicilan bisa Rp3,2 juta atau ada selisih 500 ribu sebulan.
“Bagi market menengah ke bawah selisih Rp500 ribu itu sangat besar artinya,” ucapnya. (dik)