Bangli (Bisnis Bali) – Pengrajin keben atau tempat haturan saat ini makin kreatif dalam mengembangkan bakat mereka. Hal ini pula yang menopang penjualan keben ini makin banyak peminatnya.
“Kalau dulu kan motifnya kebanyakan polos dan sederhana,jadi penjualan juga agak sulit karena motif monoton itu, kalau sekarang melihat motif yang semakin beragam orang jadi makin tertarik untuk membelinya,” ungkap Aris salah seorang pengrajin keben asal desa Tanggahan Bangli.
Hal senada juga diungkapkan Wayan Sebali, yang sudah 27 tahun membuat ulatan bambu untuk dijadikan keben dan sarana upacara lainnya. “Sekarang kita pengerajinnya yang harus berinovasi agar tak sampai ketinggalan zaman dan kehilangan pasar. Karena permintaan konsumen semakin beragam jadi kita harus menambah ilmu dan teknik ngulat lagi,” terangnya.
Kalau dulu untuk pembuatan keben biasa dalam sebulan pengrajin bisa menjual hanya 15-20 keben. Tapi dengan motif yang beragam dan warna yang variatif seperti saat ini pengrajin bisa menjual lebih dari itu. Bahkan untuk motif tertentu konsumen harus menunggu antrean untuk bisa memilikinya. “Motif tertentu memang harus sabar menunggu, apalagi sekarang yang juga tren adalah keben dengan nama pemiliknya, jadi harus dibuat khusus,” tambah Aris.
Kendala yang membuat lamanya proses pembuatan keben dengan motif ini juga karena proses  pencelupan warna bahan baku yang memerlukan waktu, dibanding keben tanpa motif atau polos.
“Untuk keben motif harga jualnya untuk ukuran standar antara Rp125 ribu sampai Rp150 ribu, tapi kalau keben motif plus nama harganya antara Rp150 ribu sampai Rp170 ribu. Harga ini jauh dibandingkan dengan keben tanpa motif dengan ukuran yang sama harganya hanya Rp100 ribu,” papar Wayan Sebali.
Saat ini penjualan keben ini menyasar tak hanya di areal Bangli dan sekitarnya tapi juga sudah dikirim hingga keluar propinsi. Penjualan pun sudah mulai modern yakni dengan memanfaatkan media sosial dan jasa pengiriman. (ita)