Mulai Maret ini, petani padi di Bali akan memasuki periode panen padi yang volumenya cukup besar. Seiring dengan itu, harapan petani sangat besar untuk mendapatkan penghasilan atau pendapatan yang tinggi dari hasil panennya. Namun, sering terjadi bahwa harapan tersebut pupus atau tak terwujud karena berbagai faktor. Apa saja yang mempengaruhi?
DI luar faktor impor beras yang mulai masuk ke Bali melalui Bulog Bali, petani di Pulau Dewata ini juga dihadapkan klasik menghadapi panen raya padi sekarang ini. Kondisi tersebut seringkali menjadi faktor pengurang nilai jual terhadap hasil budi daya yang telah dilakukan selama beberapa bulan terakhir. Akibatnya, pendapatan yang diterima petani akhirnya juga menjadi tidak maksimal pada musim panen raya.
Menurut Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra., Dr. Ir. Gede Sedana, M,Sc., MMA, kualitas padi atau gabah yang dihasilkan dapat menjadi masalah di tingkat petani karena kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi, seperti hujan dan intensitas penyinaran. Selain itu, harga gabah juga menjadi tantangan bagi petani, karena sering terjadi, harga yang diterima petani tidak sesuai dengan keinginan. Harganya relatif rendah sesuai dengan hukum ekonomi. Makin banyak penawaran atau produk di pasar, harga produk tersebut (gabah) akan turun.
“Peningkatan pendapatan mereka hanya masih jauh panggang dari api. Kondisi ini selalu menjadi momok bagi setiap petani di Bali seperti petani-petani lainnya di Indonesia. Di tingkat petani, kondisi ini sulit diatasi oleh mereka, sehingga membutuhkan adanya intervensi dari pihak baik pemerintah maupun nonpemerintah,” tuturnya.
Selain harga, terdapat juga faktor lain yang harus dipahami oleh para petani, khususnya bagi mereka yang melakukan panen sendiri atau gabahnya tidak dijual kepada penebas. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah penentuan saat panen, teknik pemanenan, perontokan, pengeringan dan penyimpanan. Paparnya, penentuan saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi yang penting untuk dipahami oleh petani sehubungan kualitas gabah dan juga persentase kehilangan gabah saat panen.
Jelas Gede Sedana yang juga Ketua HKTI Singaraja, petani telah memiliki pengalaman secara visual terhadap kenampakan padi di lahan sawah, kepadatan bulir padi, seperti warna kekuningan selain umur tanaman (tergantung varietasnya). Akan sangat berbeda dengan petani yang menjual gabahnya secara tebasan, karena penebas akan melakukan prediksi terhadap bulir padi dan warnanya sebagai dasar penentuan harga dengan petani. Akibatnya, para petani memiliki bargaining power yang rendah di dalam penentuan harga, sehingga harga yang diterima tidak seperti yang diharapkan. (man)