Menyikapi lonjakan harga beras secara naional yang tengah merangsek naik di atas ketentuan pemerintah terkait harga eceren tertinggi (HET) yang dipatok Rp 9.450 per kg untuk kualitas medium, pemerintah memutuskan kembali mengimpor beras 500 ribu ton pada awal tahun ini. Artinya, wacana menuju swasmbada pangan pun pupus. Bagaimana nasib petani yang sebentar lagi memasuki musim panen?
LONJAKAN harga beras menjadi pukulan berat bagi sejumlah konsumen pada awal tahun ini. Betapa tidak, lonjakan harga salah satu bahan pangan ini cukup signifikan, bahkan terjadi di berbagai daerah secara nasional, tidak terkecuali Bali yang menjadi salah satu sentra produksi pertanian padi dan sebagai penyumbang produksi pangan nasional selama ini. Di Bali, sentra produksi padi menyebar di hampir kabupaten/kota dengan luasan terbesar ada di Tabanan yang sekaligus mengantongi predikat lumbung pangan saat ini.
Di Bali, lonjakan harga beras terjadi pada hampir semua jenis. Di antaranya, beras C4 I naik dari Rp 11.000 per kg menjadi Rp 12.000 per kg, beras C4 II naik dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 11.000 per kg, sedangkan untuk beras premium untuk jenis Putri Sejati naik dari Rp 12.000 per kg menjadi Rp 13.000 per kg. Selain beras, lonjakan bahkan juga terjadi untuk komoditi bumbu-bumbuan. Di antaranya harga bawang merah yang naik dari Rp 22.000 per kg menjadi Rp 25.000 per kg, bawang putih naik dari Rp18.000 per kg menjadi Rp 22.000 per kg sekarang ini. Menyikapi lonjakan harga beras, akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam untuk bisa meredam lonjakan harga beras secara nasional.
Ketua DPD HKTI Bali, Prof. Dr. Nyoman Suparta mengungkapkan, kebijakan impor beras yang diambil pemerintah ini sangat disayangkan bila ingin melindungi nasib petani. Sebab, dampaknya akan mengecewakan petani dan menghilangkan kesempatan petani untuk mencari untung. Selain itu, wacana untuk mencapai swasembada pun akan pupus.
Dari hitung-hitungannya, lonjakan harga beras ini memang menguntungkan petani, namun itu jumlahnya hanya sebagian kecil. Kentungan dengan nominal yang besar, tetap hanya dinikmati oleh para pedagang beras. Paparnya, umpama harga gabah naik menjadi Rp 5.500 per kg dari Rp 4.500 per kg (kondisi normal), terjadi kenaikan Rp 1.000 per kg. Artinya, saat ini bila seorang petani mempunyai sawah 1 hektar dengan produksi 6 ton, petani dengan harga gabah yang mahal ini mendapat tambahan keuntungan hanya mencapai Rp 6 juta, dan itu pun masih harus dikurangi dengan biaya produksi yang kian mahal. Namun jika dibandingkan di tingkat pedagang beras, lonjakan yang terjadi hingga Rp 2.000 per kg. Artinya, tingkat lonjakan harga beras yang lebih besar dari lonjakan harga gabah tersebut, akan lebih banyak dinikmati di tingkat pedagang beras dikalikan dengan jumlah stok beras yang dimiliki. (man)