Singaraja (Bisnis Bali) – Merosotnya harga gula aren dewasa ini membuat para petani aren meringis. Harga gula aren yang ditawarkan di pasaran tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Seperti halnya yang dialami sejumlah petani aren di Desa Munduk Bestala, Kecamatan Seririt, Buleleng.
Di desa ini sejatinya sangat potensial dikembangkan pohon aren, namun merosotnya harga gula aren dari beberapa bulan lalu membuat petani aren cenderung beralih profesi ada yang memilih menanam cengkeh atau pohon durian.
Putu Aryawan, salah seorang petani aren dari Desa Munduk Bestala, ketika diwawancarai Bisnis Bali, Rabu (3/1) mengatakan, untuk menyiasati anjloknya harga gula aren, pihaknya memilih menjual bahan baku utama dari gula aren tersebut, yakni nira aren (tuak-red). Tuak yang dijual adalah tuak segar yang baru dipanen dan tanpa melalui proses pengolahan kembali, hanya cukup dengan menyaring tuak tersebut agar bersih dan rasa manis dari tuak ini tetap terjaga, atau masyarakat lebih mengenal dengan sebutan tuak manis.
Menurutnya, menjual tuak manis lebih mendatangkan keuntungan dibandingkan mengolahnya menjadi gula aren. Karena jika diolah menjadi gula aren, untuk memperoleh 2 -3 kilogram gula aren dibutuhkan sekitar 30 liter nira aren sedangkan harga jual gula aren saat ini dijual di pasar mulai Rp 17.000/ kilogramnya.
Jika dirinya menjual tuak manis, dirinya dapat menjual satu botol kemasan dengan harga Rp 6.000 dan tanpa ada biaya produksi lainnya, hanya memerlukan botol dan stiker kemasan saja, sehingga inovasi yang dilakukannya cukup menjanjikan karena mendapatkan untung yang lebih besar dengan biaya produksi yang lebih sedikit.
“Harga gula aren itu memang menurut saya sangat murah di pasaran, harganya bisa tinggi kisaran Rp 30 ribu per kilo, itu pun hanya pada saat hari raya saja seperti Galungan, Kuningan, Nyepi dan lainnya, kalau sekarang harga gula di rumah hanya Rp 18 ribu – Rp 20 ribu per kilo,” ungkapnya. (ira)