Konsultasi Bisnis Properti Dr. Dewa Putu Selawa, M.M. Rumah Subsidi, Dilema Atasi ’’Backlog’’

575
DR. Dewa Putu Selawa, M.M.

RUMAH bersubsidi yang merupakan program nasional bertujuan mengatasi backlog perumahan masyarakat yang dari tahun ke tahun meningkat. Sejumlah kriteria tentang siapa – siapa saja yang bisa memiliki rumah yang harganya dipatok Rp 141 juta ini pun cukup jelas.

Kriteria tersebut salah satunya masyarakat yang belum pernah memiliki dan atau membeli rumah. Selain itu masih banyak persyaratan administrasi dan dokumen yang harus dipenuhi untuk bisa mengakses program perumahan rakyat atau yang disebut-sebut rumah murah tersebut.  Memang dari sudut pandang perbankan unsur responsif konsumen sebagai pemohon kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi jadi hal mutlak.

Pengketatan seleksi kelolosan bagi calon debitur bisa saja bertujuan mencegah terjadinya gagal bayar. Namun demikian tetap saja harus memperhatikan dan mengutamakan kemudahan bagi rakyat kecil bukan justru sebaliknya di balik stimulus yang menggembor- gemborkan rumah subsidi untuk masyarakat kecil di sisi lain memunculkan  persoalan dilematis bagi masyarakat karena gara-gara persyaratan ketat dan kelengkapan dokumen yang tak terpenuhi mereka harus terganjal sulit mengakses KPR rumah bersubsidi ini.

Padahal mereka merasa sanggup bayar cicilan walaupun pekerjaan mereka tergolong nonformal. Kondisi ini jelas dilematis. Bukankah peningkatan pasokan rumah bersubsidi berorientasi meningkatkan serapan sehingga backlog perumahan bisa teratasi? Jika sistem yang ada terkesan jalan sendiri-sendiri baik dari regulator pusat, perbankan sebagai penyedia KPR, dan konsumen tentu keberhasilan program rumah subsidi ini akan selalu jauh panggang dari api.

Optimalisasi penyerapan rumah bersubsidi semua pihak mesti solit dalam praktiknya. Mulai dari ketentuan dasar pembangunannya sehingga kendala-kendala yang dihadapi pengembang lebih minim, contoh adanya kemudahan pajak, juga urusan legalitas di daerah yang relatif cepat dan mudah.

Kemudian pembiayaan tak kalah penting sehingga tak ada konsumen yang masuk dalam kreteria belum pernah memiliki dan atau membeli rumah serta memiliki kemampuan bayar tak lagi terganjal surat-surat yang dipersyaratkan sebagai pelengkap permohonan KPR rumah bersubsidi tersebut bisa dikabulkan.

Bahkan ada baiknya dimana rumah bersubsidi tersebut dibangun konsumen cukup menggunakan rekomendasi dari pemangku kekuasan di daerahnya untuk bisa memiliki rumah subsidi sudah tentu tak mengabaikan hal-hal prinsip dari program rumah murah tersebut.

Lewat edukasi yang baik proses seleksi debitur KPR yang  juga ada check listnua  bisa dijadikan pedoman  masing-masing pihak baik dari regulator,  perbankan, bahkan pengembang dan konsumen sehingga tak ada lagi yang waswas bayar uang muka namun tak memiliki atau tak ada jaminan dan  kepastian kalau lolos KPR.

“Salah satu persyaratan mutlak yakni konsumen belum pernah memiliki dan atau membeli rumah selain sanggup membayar dengan rekomendasi pihak desa saya rasa cukup bagi konsumen untuk mengakses rumah subsidi,” ujar Ketua Kehormatan DPD REI Bali ini.

Rumah murah bersubsidi di Bali yang kini dipatok Rp 141 juta sudah tergolong sulit diwujudkan di kawasan perkotaan. Hanya di kawasan tertentu saja program ini bisa diwujudkan yakni di Kabupaten Tabanan, Negara, Buleleng, dan Karangasem.

Sedangkan di Sarbagita makin sulit karena harga lahan kian membumbung tinggi. Tanpa dukungan pemerintah daerah dengan kebijakan yang memihak rakyat kecil pengembang juga sulit merealisasikannya. Lebih – lebih mulai 2018 harga rumah bersubsidi akan disesuaikan jadi Rp 149 juta per unit.

Ini tantangan bagi pihak terkait termasuk konsumen karena uang muka jelas akan ikut naik juga cicilan per bulannya. Karena itu stimulus dalam program rumah bersubsidi ini jangan hanya sebagai lipstik atau pemanis bibir saja namun praktiknya dilematis bagi rakyat kecil. (gun)