Pemerintah kembali menggulirkan kajian untuk mengecilkan bilangan atau penyebutan rupiah melalui pembahasan rancangan undang-undang (RUU) redenominasi rupiah. RUU redenominasi diharapkan jangan sampai gagal kembali. Kenapa?
WACANA redenominasi sudah bergulir sejak 2013 dan sampai saat ini belum ada titik terang apakah akan segera diterapkan. Redenominasi masih dibayangi pro dan kontra serta sejauh ini masih wacana karena belum dibahas di DPR. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bahkan dikabarkan membatalkan pengajuan RUU Redenominasi ke DPR untuk masuk program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini.
Satu sisi bila RUU redenominasi bisa disahkan menjadi UU tahun ini, Bank Indonesia (BI) setidaknya memerlukan waktu 2 tahun atau hingga 2020 untuk persiapan masa transisi. Selanjutnya, masa transisi berlangsung paling tidak 4 sampai 5 tahun. Kemudian, perlu waktu 4 tahun sejak masa transisi hingga sepenuhnya memberlakukan pecahan redenominasi.
Masa transisi diperlukan untuk sosialisasi dan pengenalan kepada masyarakat agar tidak ada salah anggapan, redenominasi bukan menggunting kemampuan uang untuk membeli barang (sanering). Rencana redenominasi dengan menghilangkan angka tiga angka nol yang terlalu banyak tanpa mengurangi nilai tukarnya. Misalnya, dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, Rp 100.000 menjadi Rp 100 dan seterusnya. Ke depannya penyederhanaan akan dilakukan bertahap semisal uang Rp 100 yang telah diredenominasi akan dikeluarkan bersamaan dengan Rp 100 ribu maka lambat laun uang Rp 100.000 yang lama bisa ditarik sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.
Menyikapi kondisi tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Ramantha, M.M. mengatakan, sebaiknya redenominasi tidak dibatalkan dan ke depannya bisa diterapkan. Manfaatnya secara psikologis akan menguatkan rupiah.
“Bagi perbankan pun tidak akan ada masalah,” katanya.
Sementara bagi masyarakat ada dua dampak yaitu positifnya transaksi dan pencatatan lebih praktis, sedangkan dampak negatif bisa menimbulkan kepanikan bagi yang tidak paham perbedaan antara redominasi dengan sanering.
“Di sinilah sosialisasi dan persiapan psikologis masyarakat diperlukan secara merata dari desa hingga kota. Ini yang akan memerlukan waktu lama sehingga jangan dibatalkan biar tidak lagi hanya wacana,” ujarnya. (dik)