SAWO yang dihasilkan petani Desa Dawan, Kabupaten Klungkung sudah terkenal dengan kelezatan dan rasanya yang manis. Meski sawo dari Dawan sudah terkenal, produksinya mengalami penurunan padahal sawo yang berbuah sepanjang tahun ini sangat menjanjikan untuk dikembangkan.
Sawo di Dawan lebih banyak ditanam di pekarangan rumah dan di pinggir jalan, bukan di tegalan. Menurut Wayan Sasih, Kaur Kesra Desa Dawan, Klungkung, hal ini karena tanaman sawo lebih banyak berbuah bila ditanam di pinggir jalan. “Sawo kalau ditanam di tegalan tidak mau berbuah, karena banyak pohon kelapa sehingga pohon sawo tidak mendapatkan sinar matahari. Selain itu sawo itu ajum kalau dilihat banyak orang pasti buahnya banyak,” tuturnya.
Dulu setiap rumah di Dawan memiliki sedikitnya 10 pohon di pekarangan dan di pinggir jalan. Namun saat ini pohon sawo di Dawan berkurang hingga 20 persen. “Pohon sawo yang ditanam di pekarangan, kerap merusak atap rumah sehingga ditebang pemiliknya. Kerusakan yang ditimbulkan tidak sebanding dengan penghasilannya,” tukasnya.
Meski demikian, ia mengakui budi daya sawo cukup memberikan keuntungan bagi masyarakat Dawan, karena sawo berbuah sepanjang tahun. “Musim sawo itu pada November, namun setiap saat selalu ada buah sawo meski tidak sebanyak saat musim panen,” ucapnya.
Saat musim panen harga sawo sekitar Rp 5.000 per kilogram, saat tidak musim harga sawo bisa tiga kali lipat karena keterbatasan pasokan. Untuk pemesanan masyarakat tidak mengalami kesulitan karena pengepul yang datang untuk mencari sawo. Sawo ini kemudian dipasarkan hingga ke seluruh Bali.
“Budi daya Sawo ini menjadi komoditas unggulan di desa kami, Dawan. Meski jumlahnya mulai menurun, kami berupaya untuk terus melestarikannya,” tukasnya. Karena komoditas yang satu ini tidak banyak yang membudidayakan, selain itu juga tidak membutuhkan perawatan khusus dan selalu dibutuhkan pasar terutama saat hari raya. (pur)